BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang menitik-beratkan pembangunannya
pada sektor pertanian. Namun, berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS)
hingga kini kebutuhan beras masih lebih tinggi daripada produksi nasional
sehingga saat ini Indonesia masih perlu mengimpor beras, bahkan pernah mencapai
volume 5,8 juta ton. Kondisi ini menyebabkan Indonesia pernah menjadi negara
agraris pengimpor beras terbesar di dunia. Volume impor produk-produk pertanian
lainnya juga mengalami peningkatan. Impor jagung misalnya dari 298.236 ton
(1998), 591.056 ton (20% dari kebutuhan, 1999) menjadi 1.199.322 ton (60% dari
kebutuhan, 2000). Impor gandum sebesar 3,58 juta ton, kedelai sebesar 1,27 juta
ton, gula pasir sebesar 1,7 juta ton. Data BPS juga menunjukkan bahwa pada
tahun 2001 Indonesia mengimpor 0,8 juta ton kacang tanah, 0,3 juta ton kacang
hijau, bahkan 0,9 juta ton gaplek.
Ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas pertanian di
Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bappenas (2002) salah satu
penyebabnya adalah berkurangnya luas lahan pertanian di Indonesia. Penyebab
lain menurut Adi (2003) adalah menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia
akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida, dan
pencemaran logam berat. Serangan hama dan penyakit yang masih sulit
dikendalikan, seperti busuk pangkal batang sawit ( Gonoderma sp) dan Penggerek
Buah Kakao (PBK), juga merupakan salah satu kendala yang mengancam dunia
agribisnis di Indonesia. Kondisi ini
bertolak belakang dengan negara-negara industri maju yang bukan negara agraris.
Sebagai contoh, Amerika memproduksi sekitar 42,8 % dari total produksi kedelai
dunia pada tahun 2001/2002 dengan volume 78,67 juta ton. Indonesia pada tahun
2001 hanya menghasilkan 0,82 juta ton kedelai. Produktivitas kedelai Indonesia
juga jauh lebih rendah daripada produktivitas kedelai di negara industri.
Produkvititas kedelai di AS adalah 2,66 ton/ha, sedangkan di Indonesai 1,2
ton/ha atau hanya 45%-nya (Pakpahan, 2004). Itu semua dapat terjadi karena
negara industri maju menerapkan pertanian berbasis bioteknologi (
Biotechnological Agriculture ). Perkembangan
pertanian berbasis bioteknologi bukan pada komoditasnya, misalnya kelapa sawit,
melainkan teknologi yang dapat menciptakan sifat-sifat kelapa sawit yang unggul
seperti yang diinginkan oleh komsumen. Pertanian berbasis bioteknologi ini
sebagian besar merupakan output dari perusahaan-perusahaan besar. Data dari
USDA menyebutkan bahwa sejak 1976 – 2000 jumlah paten produk bioteknologi telah
mencapai 11.073 buah. Sepuluh perusahaan besar yang menerima paten terbanyak
dalam bidang bioteknologi di AS adalah Monsanto Co., Inc (674 paten), Du Pont,
E.I. De Nemours and Co. (565 paten), Pioner Hi-Bred International, Inc. (449
paten), USDA (315 paten), Sygenta (284 paten), Novartis AG (230 paten),
University of California (221 paten), BASF AG (217 paten), Dow Chemical Co.
(214 paten), dan Hoechast Japan Ltd. (207 paten. Sebagian dari produk-produk
bioteknologi tersebut juga sudah beredar di Indonesia. Bioteknologi menawarkan suatu solusi untuk mengembangkan pertanian
di Indonesia. Banyak penelitian-penelitian bioteknologi yang telah dilakukan.
Namun, sangat jarang yang berhasil menjadi sebuah produk yang siap
dikomersialkan dan dipergunakan oleh petani. Banyak penelitian-penelitian
bioteknologi yang hanya menjadi makalah dalam seminar atau artikel di dalam
jurnal-jurnal ilmiah. Sebagian menjadi produk yang setengah jadi atau belum
siap dikomersialkan dan sebagian lagi gagal dalam komersialisasi. Sosialisasi
produk bioteknologi juga telah banyak dilakukan. Namun, dari sosialisasi itu
produk bioteknologi hanya sampai pada petani, tetapi tidak sampai di lahan
petani. Makalah ini menyajikan secara ringkas komersialisasi produk
bioteknologi yang didasarkan pada pengalaman penulis senior.
1.2. Rumusan Masalah
a.
Bioteknologi
b.
Bioteknologi Pertanian
c.
Tantangan Aplikasi Bioteknologi di Pedesaan
d.
Tanaman Trangesik, Peluang Sekaligus Ancaman
1.3. Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Mata
kuliah, serta untuk wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya bagi penulis sendiri
dan umumnya bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang Bio
Teknologi Pertanian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Bio Teknologi
Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu 'bio' yang berarti makhuk hidup
dan 'teknologi' yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari
paduan dua kata tersebut European Federation of Biotechnology (1989)
mendefinisikan bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan
ilmu rekayasa yang bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian
dari organisme hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan
jasa (Goenadi & Isroi, 2003).
Dengan definisi tersebut bioteknologi bukan merupakan sesuatu yang baru.
Dimulai dari nenek moyang kita, pemanfaatkan mikroba telah dilakukan untuk
membuat produk-produk berguna seperti tempe, oncom, tape, arak, terasi, kecap,
yogurt, dan nata de coco . Hampir semua antibiotik berasal dari mikroba,
demikian pula enzim-enzim yang dipakai untuk membuat sirop fruktosa hingga
pencuci pakaian. Dalam bidang pertanian, mikroba penambat nitrogen telah
dimanfaatkan sejak abad ke 19. Mikroba pelarut fosfat telah dimanfaatkan untuk
pertanian di negara-negara Eropa Timur sejak tahun 1950-an. Mikroba juga telah
dimanfaatkan secara intensif untuk mendekomposisi limbah dan kotoran.
2.2. Bio Teknologi Pertanian
2.2.1.
Peningkatan Kualitas Bahan Tanam
Padi yang berjejer rapi di sawah-sawah pedesaan bukan merupakan sesuatu
yang kebetulan terjadi, tetapi merupakan hasil dari kerja keras nenek moyang
kita selama beberapa abad. Selama beradab-abad manusia telah membudidayakannya
dengan menyilangkan dan menyeleksinya dari tanaman galur liar hingga diperoleh
galur padi seperti yang ada saat ini. Dalam pekerjaan penyilangan dan
penyeleksian tersebut sesungguhnya manusia telah melakukan transaksi gen
(pertukaran bahan genetik) dari berbagai macam kerabat liar menjadi tanaman
dengan sifat-sifat yang diinginkan, seperti produksinya tinggi, masa panen
singkat, berasnya pulen, tahan wereng, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi pada
produk-produk pertanian, peternakan, dan perikanan yang merupakan hasil
transaksi gen selama berabad-abad.
Transaksi gen dengan cara konvensional membutuhkan waktu yang relatif
lama dengan hasil yang sulit diprediksikan. Bioteknologi menawarkan cara alternatif
baru dalam transaksi gen dalam waktu yang relatif singkat dengan hasil yang
lebih dapat diprediksikan. Metode konvensional transaksi gen dilakukan pada
taraf organisme, sedangkan bioteknologi melakukan transaksi gen pada taraf sel
atau molekuler. Bahkan bioteknologi mampu menembus batasan taksonomi yang
sebelumnya tidak mungkin dilakukan dengan cara konvensional.
Peningkatan kualitas bahan tanam melalui bioteknologi berdasarkan pada
empat kategori peningkatan: peningkatan kualitas pangan, resistensi terhadap
hama atau penyakit, toleransi terhadap stress lingkungan, dan manajemen
budidaya (Huttner, 2003). Kelompok peneliti yang diketuai oleh Dr. Ingo
Potrykus telah berhasil memasukkan dan mengekspresikan dua gen penting dalam
pembentukan provitamin A di dalam endosperma padi (Ye et. al., 2000). Padi yang
dihasilkan berwarna kuning karena mengandung ß-Karoten dan dikenal dengan ”
Golden Rice ”. Rekayasa genetika ini dapat membantu mengurangi gangguan
kebutaan dan gangguan kesehatan lain yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A
yang banyak terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Penggunaan pestisida oleh petani di pedesaan sudah sangat berlebihan.
Residu pestisida yang tertinggal tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, tetapi
juga berbahaya bagi manusia yang memakannya. Perakitan tanaman yang resisten
terhadap hama tertentu dapat mengurangi secara signifikan penggunaan pestisida
dan biaya perawatan (Carpenter dan Gianessi, 2001). Contoh tanaman transgenik
yang resisten terhadap hama adalah jagung Bt dan kapas Bt, yaitu tanaman yang
telah memiliki gen Cry IA yang mematikan jenis hama tertentu.
Perakitan tanaman untuk mengatasi stres lingkungan saat ini telah banyak
dilakukan. Sebagai contoh, untuk mengatasi cekaman Al di tanah-tanah masam saat
ini tengah dirakit kedelai yang tahan cekaman Al oleh sekelompok peneliti yang
diketuai Dr. M.Yusuf dari IPB. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia (BPBPI) melakukan penelitian untuk merakit tanaman tebu yang tahan
terhadap cekaman kekeringan.
2.2.2.
Biofertilizer
dan Biodecomposer
Daya dukung sebagian lahan pertanian, terutama di lahan-lahan marginal
tergolong rendah sebagai akibat dari rendahnya bahan organik tanah. Bahan
organik tanah sebagai sumber energi sangat penting artinya bagi aktivitas mikroba
tanah. Sebagian dari mikroba tanah tersebut sangat berperan dalam mekanisme
efisiensi pelarutan unsur hara di dalam tanah, baik hara yang berasal dari
tanah maupun yang dari pupuk. Oleh karena kadar bahan organik yang rendah, maka
aktivitas mikroba tersebut juga rendah. Akibatnya, pupuk kimia yang diberikan
ke tanah untuk tanaman, sebagian besar terbuang oleh proses pencucian,
penguapan, dan fiksasai. Oleh karena itu, apabila aktivitas mikroba tanah
dan/atau bahan organik tanah ditingkatkan, maka efisiensi penyediaan unsur hara
dapat ditingkatkan.
Pemanfaatan mikroba tanah untuk pertanian telah dimulai sejak abad ke 19,
yaitu pemanfaatan mikroba penambat nitrogen untuk meningkatkan kandungan hara N
di dalam tanah. Mikroba tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai biofertilizer
adalah mikroba pelarut hara, penambat hara, pengikat hara, dan/atau pemantap
agregat. Pada dasarnya biofertilizer bukan pupuk dalam pengertian konvensional,
seperti urea, SP36, atau MOP, sehingga aplikasinya tidak dapat menggantikan seluruh
hara yang dibutuhkan tanaman (Goenadi et. al., 1998). Aplikasi biofertilizer ke
dalam tanah, dapat meningkatkan aktivitas mikroba di dalam tanah, sehingga
ketersediaan hara berlangsung optimum dan dosis pupuk konvensional dapat
dikurangi tanmpa menimbulkan penurunan produksi tanaman dan tanah. Salah satu
produk biofertilizer bernama Emas ( Enhancing Microbial Activity in the Soils )
telah dirakit oleh BPBPI (Paten ID 0 000 206 S), dilisensi oleh PT Bio Industri
Nusantara dan digunakan di berbagai perusahaan perkebunan (BUMN dan BUMS)
(Goenadi, 1999).
Kandungan bahan organik tanah dapat ditingkatkan dengan menambahkan bahan
organik limbah pertanian yang telah terdekomposisi (kompos) ke dalam tanah.
Proses dekomposisi memerlukan secara alami waktu yang lama (3-6 bulan). Proses
dekomposisi dapat dipercepat melalui pengecilan bahan baku dan pemberian
aktvator dekomposisi ( Biodecomposer ) (Goenadi, 1997). Pemanfaatan
biodecomposer dapat mempercepat proses pengomposan menjadi 2-3 minggu. Selain
itu, sebagian mikroba bahan aktif biodecomposer yang masih tertinggal di dalam
kompos juga berperan sebagai musuh alami penyakit jamur akar atau busuk pangkal
batang.
2.2.3. Biokontrol dan Bioremediasi
Mikroba juga telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit
tanaman. Aplikasi mikroba untuk biokontrol hama dan penyakit tanaman meliputi
mikroba liar yang telah diseleksi maupun mikroba yang telah mengalami rekayasa
genetika. Contoh mikroba yang telah banyak dimanfaatkan untuk biokontrol adalah
Bauveria bassiana untuk mengendalikan serangga, Metarhizium anisopliae untuk
mengendalikan hama boktor tebu ( Dorysthenes sp) dan boktor sengon ( Xyxtrocera
festiva ), dan Trichoderma harzianum untuk mengendalikan penyakit tular tanah (
Gonoderma sp, Jamur Akar Putih, dan Phytopthora sp). Biokontrol tidak selalu
menggunakan mikroba sebagai bahan aktinya, Puslit Kopi dan Kakao di Jember saat
ini tengah mengembangkan semut hitam untuk mengendalikan hama Penggerek Buah
Kakao (PBK). Keuntungan pemanfaatan biokontrol untuk pertanian antara lain
adalah ramah lingkungan, dan mengurangi konsumsi pestisida yang tidak ramah
lingkungan.
Salah satu penyebab menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia
adalah bayaknya residu bahan kimia sintetik, seperti herbisida. Menurut data
dari FAO (1998) penggunaan herbidisa di Indonesia pada tahun 1996 sebesar
26.570 ton. Jumlah ini meningkat sebesar 395% jika dibandingkan pengunaa
herbisida pada tahun 1991 (6.739 ton). Upaya untuk memperbaiki kondisi
lingkungan yang terkena polusi herbisida tersebut telah dilakukan. Salah satu
teknologi alternatif untuk tujuan tersebut adalah melalui bioremediasi .
Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik
polutann secara biologi dalam kondisi terkendali. Penguraian senyawa kontaminan
ini umumny melibatkan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri). Pendekatan
umum yang dilakukan untuk meningkatkan biodegradasi adalah dengan cara: (i)
menggunakan mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik), (ii) memodifikasi
lingkungan dengan penambahan nutrisi dan aerasi (biostimulasi), (iii)
penambahan mikroorganisme (bioaugmentasi) (Sulia, 2003).
2.2.4. Peternakan dan Perikanan
Bioteknologi juga telah melakukan beberapa terobosan penting dalam dunia
peternakanan dan perikanan. Salah satu keberhasilan yang beberapa waktu lalu
cukup mengemparkan dunia adalah keberhasilan Dr. Ian Helmut mengkloning domba
yang dikenal dengan ”Dolly”. Keberhasilan ini membuka peluang bagi dunia
peternakan untuk mengembangbiakan tenak dengan sifat-sifat yang relatif
seragam. Keberhasilan lain adalah rekayasa genetik untuk meningkatkan efisiensi
metabolisme ternak/ikan, seperti peningkatan penyerapan pakan, peningkatan
kualitas daging, dan produksi susu (Huttner, 2003).
2.3. Tantangan Aplikasi Bioteknologi Di Pedesaan
Petani di pedesaan pada umumnya adalah masyarakat dengan tingkat
pendidikan yang rendah dengan pola pikir yang sederhana. Petani pada umumnya
agak sulit untuk menerima dan mempraktekkan teknologi baru seperti bioteknologi
pertanian tanpa menyaksikan dan mempraktekan sendiri. Aplikasi bioteknologi
pada petani di pedesaan memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dan dilakukan
secara terus menerus. Ada semacam keraguan bahwa bioteknologi dapat diterapkan
dengan sukses di pedesaan oleh petani. Pendapat ini tentunya dilandasi oleh
asumsi bahwa bioteknologi merupakan cara atau teknik yang rumit. Bioteknologi dapat berupa teknik yang
sederhana seperti fermentasi tempe atau memerlukan teknik-teknik yang rumit
dengan biaya besar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merakit produk
bioteknologi untuk diaplikasikan di pedesaan adalah bahwa serumit apapun proses
perakitannya hasil akhir dari proses tersebut harus sesederhana mungkin ( user
friendly ). Petani sebagai pengguna bioteknologi dapat dengan mudah
mempraktekkannya. Bagi petani hal terpenting adalah bahwa aplikasi bioteknologi
dapat menciptakan efisiensi dan peningkatan keuntungan usaha taninya.
Progresifitas usaha tani di pedesaan hanya mungkin berlangsung optimal
jika teknologi maju yang diciptakan di perkotaan segera ditransfer ke lahan
petani. Tanpa upaya-upaya yang intensif dan konsisten jurang antara kemajuan
teknologi dan produktivitas pertanian di pedesaan tidak akan pernah dapat
terjembatani. Kemampuan kewirausahaan berbasis teknologi ( Technopreneurship )
menjadi sangat penting untuk secara terus-menerus dibina dikalangan para petani
sebagai pelaku usaha di bidang agribisnis.
2.4. Tanaman Transgenik, Peluang Sekaligus Ancaman
Tanaman transgenik menjanjikan potensi keuntungan bagi pelaku agribisnis,
namun di sisi lain memberikan gambaran suram bagi pemerhati lingkungan karena
ternyata ada bahaya ekologis yang patut menjadi perhatian semua pihak. Yang dimaksud dengan tanaman transgenik
adalah tanaman hasil rekayasa genetika dengan upaya pemanfaatan bioteknologi.
Dengan demikian, tanaman transgenik mengandung gen (pembawa sifat tanaman) yang
berasal dari luar tanaman yang secara sengaja dan terencana dipindahkan dengan
teknologi canggih tersebut. Gen yang dipindah- kan bisa berasal dari binatang, tanaman
atau tumbuhan, bakteri, virus dan lain-lain.
Hingga saat ini gen yang dianggap dapat memperbaiki sifat tanaman yang
diinginkan sudah berhasil dipindahkan (genetic modified and transferred) dan
menghasilkan tanaman baru yang lebih baik.
Pemanfaatan tanaman transgenik merupakan sebuah peluang karena dapat
meningkatkan produksi tanaman pangan.
Dengan demikian pemanfaatan tanaman transgenik berupa faktor pengungkit
(leverage) pada peningkatan produksi tanaman yang cenderung melandai atau
leveling off. Namun di sisi lain ada pro kontra terhadap pemakaian tanaman
transgenik ini. Pro kontra terjadi pada aspek keamanan dan mutu pangan
transgenik dan pada aspek kelestarian lingkungan mengingat adanya bahaya
ekologis dan ancaman keamanan pangan yang membahayakan kesehatan manusia atau
binatang yang mengonsumsi makanan yang berasal dari tanaman transgenik.
Kecepatan memproduksi tanaman transgenik di dunia sangat signifikan.
Perkembangan dapat digambarkan oleh negara Amerika Serikat yang pada tahun 2000
baru menghasilkan 24 jenis, dan tahun 2003 sudah lebih dari 30 jenis tanaman
transgenik yang dipasarkan. Di seluruh dunia pada tahun 2002 ada empat tanaman
transgenik utama yang berkembang pesat, yaitu kedelai mencakup 36% dari 72 juta
ha pertanaman; tanaman kapas meliputi 36% dari 34 juta ha, tanaman kanola
meliputi 11% dari 25 juta ha dan jagung meliputi 7% dari 140 juta ha.
Berdasarkan total areal tanam transgenik di dunia, tanaman kedelai
menduduki tempat pertama dengan mencapai areal 25,8 juta hektare, diikuti
dengan jagung Bt yang tahan ulat penggeret, kemudian kanola yang tahan
herbisida, dan jagung yang tahan herbisida, kapas yang tahan herbisida dan
kemudian kapas Bt yang tahan hama penggerek serta tahan herbisida.
Mulai tahun 1996 tanaman transgenik mewarnai perdagangan pangan
internasional. Pangsa pasar tanaman transgenik yang praktis nol pada tahun
1996, karena baru direkayasa, dua tahun kemudian telah berhasil menguasai pasar
30% untuk tanaman utama (jagung, kedelai dan kapas) di Amerika Serikat. Nilai
perdagangan benih transgenik meningkat 3.000% di seluruh dunia dalam lima tahun
terakhir. Sebanyak dua belas negara di dunia telah mengadopsi tanaman
transgenik untuk ditanam dalam skala komersil yaitu Amerika Serikat, Argentina,
Kanada, Cina, Australia, Afrika Selatan, Meksiko, Spanyol, Prancis, Portugal,
Rumania dan Ukraina. Sementara itu Brasil dan India telah melakukan perdagangan
tanaman transgenik mulai tahun 2002 yang diikuti oleh Malaysia dan Filipina. Di
Indonesia tanaman transgenik sudah mulai diperkenalkan kepada petani, yaitu
tanaman kapas transgenik, walaupun masih dalam skala pengkajian.
Jika kecenderungan peningkatan luas budidaya tanaman transgenik tidak berubah,
diperkirakan sekitar lima tahun ke depan 60% perdagangan pangan utama di dunia
adalah hasil dari tanaman transgenik. Bioteknologi sudah berhasil pula
diterapkan untuk tanaman utama di dunia, yaitu padi dan gandum. Saat ini telah
memasuki tahapan pengembangan dan dua tahun ke depan kemungkinan akan memasuki
tahap komersialisasi. Tanaman
transgenik menjanjikan potensi keuntungan bagi pelaku agribisnis, namun di sisi
lain memberikan gambaran suram bagi pemerhati lingkungan karena ternyata ada
bahaya ekologis yang patut menjadi perhatian semua pihak.
Beberapa risiko ekologis tanaman transgenik antara lain: Pertama, saat
penyebaran benih transgenik akan terjadi transfer gen horizontal melalui
penyerbukan (polinasi) yang tidak dapat terkontrol, misalnya benih dimakan
burung, serbuksari terbawa angin atau tanpa sengaja benih terbawa alat
transportasi yang lintas negara. Hal ini akan menimbulkan kontaminasi genetik
yang tidak dapat terkendali.
Kedua, penggunaan tanaman dapat menimbulkan risiko guncangan ekologis
akibat ketidakseimbangan antara musuh alami (predator) dengan hama tanaman. Hal
ini sangat besar kemungkinannya untuk terjadi karena penggunaan tanaman
transgenik sangat mempengaruhi tritrophic system yaitu tanaman transgenik
sebagai tanaman yang resisten hama (contoh jagung Bt, kapas Bt), insekta
pengganggu (hama tanaman) sebagai second trophic level, dan parasit atau
predator sebagai third trophic level. Sistem alamiah ini akan pasti terganggu
akibat pemakaian tanaman transgenik secara besar-besaran. Interaksi dari ketiga
subsistem itu akan beragam, dapat menguntungkan, merugikan, atau netral.
Penelitian mengenai hal ini diperlukan agar perdebatan mengenai dampak
tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu penelitian
menyebutkan bahwa pengaruh Bt-transgenik menyebabkan penurunan populasi hama
dan juga penurunan populasi musuh hama (predator). Namun demikian diberitakan
bahwa penanaman kapas Bt dalam skala penelitian terbukti menurunkan sedikit
populasi insekta yang berguna karena musuh alami tersebut masih memperoleh
makanan dari tanaman yang tidak ditanami kapas Bt-transgenik. Pengaruhnya akan
nyata apabila sudah dikembangkan dalam skala komersial.
Negara yang melakukan penanaman komersial dari tanaman transgenik
biasanya melakukan analisa keamanan pangan termasuk konsekuensi langsung
(kajian nutrisi, efek alergi dan keracunan) atau tidak langsung (efek baru yang
tidak dinginkan dari transfer gen itu serta pengaruhnya terhadap metabolisme
tanaman). Sekarang telah dikembangkan suatu solusi yang baik dengan cara
pendekatan substantial equivalence yaitu membandingkan pangan transgenik dengan
tanaman pangan konvensionalnya.
Apabila keduanya sama-sama memiliki status nutrisi yang sama (walaupun
tidak identik sama) serta sama-sama tidak memiliki pengaruh negatif terhadap
kesehatan maka pangan transgenik tersebut aman dikonsumsi. Ini yang perlu
dilakukan secara lebih intensif, bukan hanya melakukan uji laboratorium
terhadap produk olahan yang ada di pasar untuk diteliti apakah produk olahan itu
mengandung tanaman transgenik atau tidak.
Kekhawatiran terhadap risiko tanaman transgenik ini perlu mendapat
perhatian serius, karena sebagai produk teknologi baru, risiko jangka
panjangnya belum diketahui. Para ilmuwan tidak dapat mengatakan secara pasti
bahwa suatu produk 100% aman karena sekecil apa pun risiko akan tetap ada. Analisis risiko lingkungan untuk
memantapkan adopsi terhadap tanaman transgenik perlu dilakukan. Sebagai contoh,
analisa ini dilakukan untuk mengkaji dampak penanaman kapas transgenik (kapas
transgenik Bollgard produksi Monsanto) yang diuji-coba pengembangannya di
Sulawesi Selatan. Hasil kajian perguruan tinggi di Indonesia (antara lain
Universitas Gadjah Mada dan Universitas Hasanuddin) menghasilkan analisa risiko
lingkungan sebagai berikut: Pertama, analisis mikrobiologi, fisiologi dan
genetika molekular untuk mengetahui pengaruh kapas Bollgard terhadap
mikroorganisme dan sejumlah biota tanah menunjukkan bahwa pengaruh kapas
Bollgard tidak berbeda dengan kapas biasa (non Bt).
Kedua, analisis ketahanan terhadap antibiotik dan genetika molekular
menunjukkan bahwa frekuensi transfer gen dari daun kapas Bollgard pada bakteri
tanah Aconetobacter calcoaceticus ADP1 tidak dapat dideteksi dalam percobaan
tersebut. Ketiga, penelitian terhadap jumlah kelimpahan jenis dan populasi
arthropoda bukan sasaran pada kapas Bollgard relatif sama dengan kapas
nontransgenik.
Keempat, resistensi hama Helicoverpa armigera terhadap kapas Bollgard
belum terlihat secara nyata pada tahun 2001 dan ini sebagai dasar acuan
pendeteksian dini resistensi seterusnya. Pemerintah
telah mengambil sikap pro dengan penuh kehati-hatian dalam pengembangan tanaman
transgenik di Indonesia. Tanaman transgenik yang akan dilepas di Indonesia
hendaknya telah secara teruji melalui penelitian dan pengembangan yang baik,
terencana, dan berkelanjutan. Kehati-hatian
perlu diterapkan dengan sangat baik karena di balik peluang ada risiko.
Pengambilan keputusan untuk mengembangkan tanaman transgenik di berbagai daerah
perlu dilakukan melalui proses penelitian dan pengembangan yang terpadu antara
pemerintah, perguruan tinggi, pelaku bisnis, LSM, swasta, dan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Produksi pertanian di
Indonesia mengalami penurunan dan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat
Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain semakin
sempitnya luas lahan pertanian dan menurunnya kualitas lahan pertanian.
Bioteknologi pertanian menawarkan salah satu alternatif untuk meningkatkan
efisiensi pertanian di Indonesia. Aplikasi bioteknologi pertanian di pedesaan
antara lain adalah peningkatan kualitas bahan tanam meliputi kualitas pangan,
resisten terhadap hama dan penyakit, dan toleran terhadap cekaman lingkungan.
Apliksi biofertilizer dan biodecomposer yang berbahan aktif mikroba dapat
mengurangi konsumsi pupuk konvensional tanpa menurunkan produktivitas
pertanian. Selain itu aplikasi biokontrol dapat dimanfaatkan untuk mengatasi
berbagai hama dan penyakit pertanian. Sejalan dengan program Go Organic 2010 yang
diluncurkan pemerintah, aplikasi bioteknologi dapat digunakan untuk
mengembangkan pertanian organik di pedesaan.
Salah satu hambatan aplikasi
bioteknologi di pedesaan adalah tingkat pendidikan petani yang rendah dan sulit
untuk mengadopsi teknologi baru. Permasalahan ini dapat diatasi dengan
melakukan sosialisasi yang intensif oleh pemerintah dan perakitan produk
bioteknologi yang sederhana dan mudah dipraktekkan oleh petani di pedesaan. Hal
lain yang tidak kalah pentingnya adalah promosi terhadap nilai tambah produk
organik bagi kesehatan, sehingga konsumen bersedia membayar lebih mahal
daripada produk konvensional.
Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu 'bio' yang berarti makhuk hidup
dan 'teknologi' yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari
paduan dua kata tersebut European Federation of Biotechnology (1989)
mendefinisikan bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan
ilmu rekayasa yang bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian
dari organisme hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan
jasa (Goenadi & Isroi, 2003).
Salah satu penyebab menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia
adalah bayaknya residu bahan kimia sintetik, seperti herbisida. Menurut data
dari FAO (1998) penggunaan herbidisa di Indonesia pada tahun 1996 sebesar
26.570 ton. Jumlah ini meningkat sebesar 395% jika dibandingkan pengunaa
herbisida pada tahun 1991 (6.739 ton). Upaya untuk memperbaiki kondisi
lingkungan yang terkena polusi herbisida tersebut telah dilakukan. Salah satu
teknologi alternatif untuk tujuan tersebut adalah melalui bioremediasi .
Bioteknologi dapat berupa teknik yang sederhana seperti fermentasi tempe
atau memerlukan teknik-teknik yang rumit dengan biaya besar. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam merakit produk bioteknologi untuk diaplikasikan di
pedesaan adalah bahwa serumit apapun proses perakitannya hasil akhir dari
proses tersebut harus sesederhana mungkin ( user friendly ). Kecepatan memproduksi tanaman transgenik
di dunia sangat signifikan. Perkembangan dapat digambarkan oleh negara Amerika
Serikat yang pada tahun 2000 baru menghasilkan 24 jenis, dan tahun 2003 sudah
lebih dari 30 jenis tanaman transgenik yang dipasarkan. Di seluruh dunia pada
tahun 2002 ada empat tanaman transgenik utama yang berkembang pesat, yaitu
kedelai mencakup 36% dari 72 juta ha pertanaman; tanaman kapas meliputi 36%
dari 34 juta ha, tanaman kanola meliputi 11% dari 25 juta ha dan jagung
meliputi 7% dari 140 juta ha.
3.2. Saran
Kekhawatiran terhadap risiko tanaman transgenik perlu mendapat perhatian
serius, karena sebagai produk teknologi baru, risiko jangka panjangnya belum
diketahui. Para ilmuwan tidak dapat mengatakan secara pasti bahwa suatu produk
100% aman karena sekecil apa pun risiko akan tetap ada.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.ipard.com/art_perkebun/apr03-05_dhg+isr.asp
http://www.situshijau.co.id/tulisan.php?act=detail&id=271&id_kolom=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar